Archive for Juni, 2013

Syirik Dan Macam-Macamnya

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Allah telah mengambil persaksian dari anak keturunan Adam supaya mereka mengesakan-Nya dalam beribadah. Artinya ialah agar mereka hidup di atas aqidah tauhid dan menjauhkan diri dari dosa syirik. Hat ini dilakukan agar umat manusia, anak keturunan Adam tidak berdalih dean berkelit di hadapan Allah pada hari kiamat nanti.

Allah berfirman dalam kitab-Nya:

Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkun keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini sesembahanmu?”
Mereka menjawab: “Betul!” (Engkau adalah sesembahan kami), Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang lengah terhadap hal ini (mengesakan Allah), atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu. (al-A’raf: 172-173)

Ayat di atas menunjukan bahwa kebanyakan orang yang terjerumus ke dalam perbuatan syirik, melanggar persaksian mereka sendiri disebabkan dua hal:

1. Jahil (bodoh) dan lalai dari memahami tauhid dan syirik.
2. Taqlid buta kepada adat kebiasan nenek moyang.

Dalam kesempatan kali ini, kami akan mengetengahkan selayang pandang tentang syirik dan macam ragamnya, sehingga hal itu bisa dijauhi. Sebab seluruh model dari bentuk syirik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada hari ini berpangkal dari dua faktor di atas. Sehingga banyak sekali praktek-praktek syirik yang dianggap biasa dan lumrah.

Dengan harapan semoga pembaca yang mulia dapat memetik faedah dari
tulisan yang sederhana ini. Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi:

Aku kenali kejahatan bukan untuk melaksanakannya,
Namun untuk menjaga diri darinya,
Barang siapa yang tidak mengenal kebaikan dan kejahatan,
Dikhawatirkan ia akan terperosok ke dalamnya.
Hudzaifah Ibnu Yaman juga sering bertanya tentang keburukan kepada
Rasulullah guna menghindarinya.

Definisi Syirik

Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah pada perkara yang merupahan hak istimewa-Nya. Hak istimewa
Allah seperti: Ibadah, mencipta, mengatur, memberi manfaat dan mudharat, membuat hukum dan syariat dan lain-lainnya.
Yang dimaksud dengan ibadah adalah semua amal perbuatan lahir maupun batin yang diridhai dan dicintai oleh Allah.

Contoh-contoh ibadah seperti:
Do’a, menyembelih hewan kurban, nadzar, ruku’, sujud, al-mahabbah (kecintaan), al-khauf (rasa takut), tawakkal,
istighatsah (minta pertolongan di saat kesusahan, isti’adzah (meminta perlindungan) dan lain-lainnya.

Setiap orang yang memalingkan salah satu daripada hak-hak istimewa Allah tersebut kepada selain-Nya, seperti memalingkan ibadahnya kepada selain Allah, maka ia tergolong orang yang melakukan syirik.

Dari situ jelaslah, bahwa hakikat syirik adalah memalingkan ibadah dan hak istimewa Allah yang lainnya kepada selain Allah, baik kepada nabi, malaikat, wali dan lain-lainnya. Ataupun kepada benda mati, seperti bebatuan, pepohonan dan lain-lainnya.

Bukan sebagaimana anggapan sebagian kaum Muslimin, bahwa syirik itu hanyalah dengan menyembah bebatuan dan pepohonan atau lainnya seperti yang dilakukan kaum Paganisme (penyembah berhala).
Anggapan keliru itu berpangkal dari kesalahpahaman tentang pengertian “berhala” (watsan), sebagian orang
beranggapan bahwa (berhala) hanyalah berupa patung-patung yang disembah.

Padahal yang benar, bahwa (berhala) dapat berlaku untuk apa saja, baik berupa makhluk hidup, benda-benda mati seperti patung, pohon dan lain-lainnya, ataupun berupa benda-benda yang abstrak seperti hawa nafsu, pemikiran dan lain-lainnya.

Hal ini dilihat dari objek yang disembah. Adapun ditinjau dari perilaku syirik itu sendiri, banyak sekali kesalahpahaman masyarakat umum tentang hal tersebut. Mereka menganggap bahwa meminta perlindungan kepada benda-benda dan tempat keramat bukan termasuk perilaku syirik. Demikian pula anggapan bahwa “ngalap berkah” ke kuburan para wali (atau yang dianggap wali) dibolehkan dan lain-lainnya.

Macam-Macam Syirik

Bentuk dan ragam syirik berbeda-beda dari masa ke masa disuatu tempat dengan tempat lainnya. Setan sengaja memanfaatkan kelemahan dan kelengahan bani Adam untuk menyuntikkan virus syirik ini ke dalam tubuh mereka.
Bujuk rayu setan supaya terjerumus ke dalam perbuatan maksiat hanyalah mukaddimah menuju dosa yang terbesar yaitu syirik. Allah telah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya:

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka.
Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyak dari mereka bersyukur (taat). (al-A’raf: 16-17).

Bentuk syirik yang dilakukan kaum Nuh adalah menyembah Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr, mereka adalah orang-orang shalih sebelum zaman nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada orang-orang di zaman itu supaya membuat gambar-gambar dan patung mereka, dan diletakkan di majlis-majlis yang biasa mereka duduki, guna mengingat jasa-jasa mereka.

Pada waktu itu belum ada pikiran menyembah patung-patung tersebut. Namun ketika zaman berputar dan generasi telah berganti serta ilmu telah dilupakan/ditinggalkan, akhirnya patung-patung itu disembah.Demikianlah sejarah terjadinya syirik pertama sekali. Kisah di atas disitir oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Abbas di dalam Shahihnya.

Bentuk syirik yang dilakukan oleh Bani Israil adalah menyembah anak sapi. Mengenai hal ini Allah berfirman:

Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur mereka membuat patung anak lembu yang bertubuh dan bersuara, dari perhiasan-perhiasan emas mereka. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lernbu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat menunjukkan jalan kepada mereka, mereka menjadikannya sebagai sesembahan, dan mereka adalah orang-orang yang dhalim. (al-A’raf :148)

Bentuk kemusyirikan kaum Nasrani adalah menuhankan nabi Isa. Mengenai hal ini Allah SWT. berfirman:

Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al-Masih itu putra Allah”.
Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru orang kafir terdahulu. Allah melaknati mereka, bagaimana mereka sampai berpaling. (at-Taubah: 30)

Orang-orang Majusi melakukan kesyirikan dalam bentuk menyembah api. Sedangkan Arab jahiliyah melakukan kemusyirikan dalam bentuk mengambil pemberi syafa’at dari selain Allah. Mengambil mereka sebagai perantara
kepada Allah, hal itu semua dengan keyakinan bahwa Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi. Allah menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:

Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (az-Zumar: 3)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at selain Allah. Katakanlah: “Dan apakah kamu (masih mau mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki suatupun dan tidak berakal. (az-Zumar: 43)

Semua itu adalah bukti bahwa perbuatan syirik akan tetap terjadi di tengah-tengah umat manusia dengan beragam bentuknya. Dalam beberapa hadits Rasulullah telah menjelaskannya kepada kita:

Tidak akan datang hari kiamat hingga beberapa kabilah dari umatku mengikuti kaum Musyirikin, dan hingga beberapa kabilah dar umatku kembali menyembah berhala. (HSR Abu Dawud)

Dari Aisyah Rasulullah bersabda:

Tidak akan hilang siang dan malam hingga al-Latta don al-Uzza kembali disembah. (HSR Muslim)

Dan Abu Hurairah Rasulullah bersabda:

Tidak akan datang hari kiamat hingga wanita-wanita suku Daus thawaf mengitari Dzil Khalasah, berhala yang dulu disembah suku Daus pada masa jahiliyah di Tabalah (sebuah tempat di negeri Yaman)

Hadits-hadits di atas adalah isyarat bahwa umat ini akan kembali terperosok ke dalam lubang kemusyrikan, disadari ataupun tidak. Apa yang disebutkan Rasulullah tadi benar-benar menjadi kenyataan. Bahkan bentuk-bentuk syirik yang dilakukan kaum Muslimin pada hari ini lebih parah daripada kemusyrikan Arab jahiliyah.

Contohnya kaum Tasawwuf, diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa Rasulullah mengetahui perkara ghaib, mengatur pemberian rezeki dan lain-lainnya. Seperti yang tertuang dalam syair seorang Sufi yang bernama al-Bhusairi.

Sesungguhnya diantara kedermawananmu
Adalah dunia dan kekayaan yang ada di dalamnya
Dan diantara ilmumu Adalah ilmu lauhul mahfudz dan Qalam (takdir)

Lebih dari itu, sebagian kaum Sufi ada yang berkeyakinan bahwa diantara para wali (atau yang mereka anggap wali) ada yang mendapat kuasa dari Allah untuk mengatur alam semesta. Seorang penulis Sufi berkata dalam kitabnya yang berjudul: al-Kaafi FirRaddi ‘Alal Wahabi sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah memiliki beberapa hamba yang bila mengatakan kepada sesuatu:
“Kun” (jadilah) maka ia akan terjadi!”

Dan yang lebih parah dari itu, sebagian kaum Sufi mempercayai bahwa Allah menitis kepada para Makhluk-Nya. Seperti aqidah Ibnu Arabi, yang pernah berkata dalam syairnya:

Tuhan adalah hamba, hamba adalah Tuhan
Duhai kiranya siapakah yang mukallaf (yang bertugas beribadah)
Keyakinan-keyakinan seperti itu tidaklah dimiliki oleh Arab jahiliyah,
mereka masih meyakini bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengatur alam semesta.

Simaklah firman Allah berikut ini:
Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus:31)

Ikuti bahasan selanjutnya mengenai pembagian syirik dilihat dari akibat yang ditimbulkan jika seseorang melakukannya. Yang pertama adalah syirik akbar (syirik besar). Apa maksud dan pengertian syirik ini? Apa saja macam-macamnya?

Syirik Ditinjau Dari Akibat Yang Ditimbulkan

1. Syirik Akbar (syirik besar)

Syirik Akbar

yaitu yang mengakibatkan pelakunya ke luar dari agama Islam, serta kekal selama-lamanya dalam neraka bila tidak taubat darinya.
Hakikat syirik akbar adalah “memalingkan salah satu jenis ibadah kepada selain Allah!”. Seperti memohon kepada selain Allah, menyembelih hewan kurban yang ditujukan untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, takut kepada selain Allah, seperti takut kepada mayat, kuburan, jin, setan disertai keyakinan bahwa hal-hal tersebut dapat memberi bahaya dan mudharat kepadanya, memohon perlindungan kepada selain Allah, seperti meminta perlindungan kepada jin dan orang yang sudah mati, mengharapkan sesuatu yang tidak dapat diwujudkan kecuali oleh Allah, seperti meminta hujan kepada pawang, meminta penyembuhan kepada dukun dengan keyakinan dukun itulah yang menyembuhkannya, mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dan lain-lainnya.

Macam-Macam Syirik Besar

Syirik besar ada beberapa macam:

1. Syirik dalam berdo’a

Yaitu meminta kepada selain Allah, di samping meminta kepadaNya.
Allah berfirman dalam kitab-Nya:

Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdo’a hanya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya Namun tatkala Allah nernyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan Allah.
(al-Ankabut: 65)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kalit ari. Jika kamu meminta kepada mereka, mereka tiada mendengar seruanmu dan kalau mereka mendengar mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu. Dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. (Faathir: 13-14)

2. Syirik Dalam Sifat Allah

Seperti keyakinan bahwa para nabi dan wali mengetahui perkara-perkara ghaib. Allah telah membantah keyakinan seperti itu di dalam firman-Nya:

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. (al-An’am:59)

Dalam ayat lain Allah berfirman

(Dialah Rabb) Yang Mengetahai perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. (al-Jin: 26-27)

Pengetahuan tentang hal yang ghaib merupakan salah satu hak istimewa Allah. menisbatkan hal tersebut kepada selainNya adalah syirik akbar.

3. Syirik Dalam Mahabbah (Kecintaan)

Yaitu mencintai seseorang, baik wali atau lainnya sebagaimana mencintai Allah atau menyetarakan cintanya kepada makhluk dengan cintanya kepada Allah. Mengenai hal ini Allah berfirman:

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana rnereka mencintai Allah, adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah. (al-Baqarah:165)

Yang dimaksud dengan mahabbah (kecintaan) dalam ayat ini adalah mahabbatul ubudiyah, yaitu cinta yang dibarengi dengan ketundukan dan kepatuhan mutlak serta mengutamakan yang dicintai daripada yang lainnya. Mahabbah seperti
ini adalah hak istimewa Allah. Hanya Allah saja yang berhak dicintai seperti itu, tidak boleh diperlakukan dan disetarakan dengan Nya sesuatu apapun.

Mahabbah terbagi dua:

1. Mahabbah Mahdhah (Mahabbah Ubudiyah)

yaitu mahabbah (kecintaan) yang membuat tunduk dan patuh kepada yang dicintai. Ini hanyalah bagi Allah semata.

2. Mahabbah Musytarikah

Terbagi manjadi tiga jenis:

1. Mahabbah Thabi’iyah (kecintaan kepada sesuatu secara tabiat). Seperti kecintaan orang yang lapar kepada makanan.
2. Mahabbah Isyfaq (kasih sayang) seperti: Kecintaan (kasih sayang) orang tua kepada anaknya.
3. Mahabbah Unus dan Ilf seperti: kecintaan seseorang kepada temannya.

Ketiga jenis mahabbah di atas tidaklah membuat seseorang tunduk dan patuh secara mutlak kepada yang dicintai. Hal itu wajar saja terdapat pada diri seseorang hamba. Namun harus diperhatikan, jika bertabrakan antara mahabbah mahdhah dengan mahabbah musytarikah, maka kita wajib mendahulukan mahabbah mahhdah. Dalilnya firman Allah,

Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (at-Taubah:24)

4. Syirik Dalam Ketaatan

Yaitu ketaatan kepada makhluk, baik wali ataupun alama dan lain-lainnya, dalam mendurhakai Allah. Seperti: mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah

Mengenai hal ini Allah berfirman:

Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. (at-Taubah:31)

Rasulullah pernah membacakan ayat tersebut di hadapan ‘Adiy bin Hatim athTha’i, dia dahulunya memeluk agama Nasrani, ‘Adiy langsung berkata:
“Yaa Rasulullah, kami dahulunya tidak menyembah mereka! Rasulullah, pun bersabda:

Bukankah mereka menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah, lalu kamu juga ikut menghalalkannya, mereka mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah, lalu kamu ikut mengharamkannya?”

“Benar”! jawab ‘Adiy.

“Begitulah dahulunya kamu menyembah mereka”! jawab Beliau. (HSR Tirmidzi).

Taat kepada ulama dalam hal kemaksiatan inilah yang dimaksud dengan menyembah berhala mereka! Berkaitan dengan ayat di atas, Rasulullah menegaskan:

Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada al-Khaliq (Allah). (HSR Ahmad)

Pembahasan berikutnya masih seputar syirik besar. Diantaranya adalah syirik khauf (takut). Apakah kita tidak boleh takut kepada siapa pun kecuali Allah saja? Bagaimana jika seseorang takut kepada binatang tertentu? Bagaimana sebenarnya pembagian rasa takut? Takut apa saja yang dibolehkan?

1. Syirik Khauf (Takut)

Yaitu keyakinan bahwa sebagian makhluk, baik wali ataupun yang lainnya yang sudah meninggal dunia, atau makhluk-makhluk yang ghaib bisa melakukan dan mengatur urusan serta mendatangkan mudharat. Karena keyakinan
itulah mereka menjadi takut kepada wali-wali atau makhluk-makhluk ghaib tersebut.

Kaum Musyrikin Arab menyakini bahwa berhala-berhala mereka dapat menimpakan madharat kepada manusia. Oleh karena itu mereka menakut-nakuti Rasulullah dengan berhala-hala tersebut. Allah menceritakannya di dalam al-Qur’an:

Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-hamba-Nya? Dan mereka menakut-nakuti kamu dengan (sesembahansesembahan) yang selain Allah. (az-Zumar:36)

Keyakinan seperti ini merupakan syirik akbar yang mesti dijauhi.

Jenis-Jenis Khauf

1. Khauf Sirri

Yaitu: Takut kepada selain Allah berupa berhala, thaghut, mayat, makhluk ghaib seperti jin, dan orang-orang yang sudah mati, dengan keyakinan bahwa mereka dapat menimpakan mudharat kepada makhluk. Khauf sirri ini termasuk salah satu jenis ibadah yang harus dimurnikan bagi Allah semata. Allah berfirman:

Janganlah kamu takut kepada mereka, takutlah kamu kepada-Ku jika kamu benar-benar orang beriman. (Ali Imran:175)

2. Takut Yang Menyebabkan Seseorang Meninggalkan Kewajibannya,

seperti: Takut kepada seseorang sehingga menyebabkan kewajiban ditinggalkan. Takut seperti ini hukumnya haram, bahkan termasuk syirik ashghar (syirik kecil). Berkaitan dengan hal tersebut, Rasulullah bersabda:

Janganlah seseorang dari kamu menghinakan dirinya!

Shahabat bertanya: “Bagaimana mungkin seseorang menghinakan dirinya sendiri!” Rasul bersabda: “Yaitu, ia melihat
hak Allah yang harus ditunaikan, namun tidak ditunaikannya’ Maka Allah akan berkata padanya di hari kiamat: “Apa yang mencegahmu untuk mengucapkan begini dan begini?”. Ia menjawab: “Karena takut kepada Allah berkata: Seharusnya hanya “kepada-Ku saja engkau takut.” (HSR Ibnu Majah dari Abu Said alKhudri)

3. Takut Secara Tabiat

Yaitu takut yang timbul karena fitrah manusia seperti takut kepada hewan liar, binatang buas, atau kepada orang jahat dan lain-lainnya. Takut jenis ini tidak termasuk syirik, hanya saja seseorang janganlah terlalu didominasi rasa takutnya sehingga dapat dimanfaatkan setan untuk menyesatkannya.

2. Syirik Hulul

Yaitu mempercayai bahwa Allah menitis kepada makhluk-Nya. Ini adalah aqidah Ibnu Arabi dan keyakinan sebagian kaum Sufi yang ekstrem. Hingga di antara mereka ada yang berkata dalam syairnya:

Anjing dan babi tidak lebih melainhan tuhan kita juga
Dan tidak lebih, Allah itu hanyalah seseorang rahib yang ada di gereja.
Maha suci Allah dan apa yang mereka ucapkan.
Sangat buruklah kalimat yang keluar dari mulut-mulut mereka, yang
mereka ucapkan itu hanyalah dusta belaka.

3. Syirik Tasharruf

Yaitu keyakinan bahwa sebagian para wali miliki kuasa untuk bertindak dalam mengatur urusan makhluk. Mereka menamakan para wali tersebut dengan “Wali Quthub”, di Negeri Pakistan orang awam menyebutnya: “Pauc Piir”
(wali lima), yang diyakini berhak mengatur jagad raya. Keyakinan seperti ini jelas lebih sesat daripada keyakinan Musyrikin Arab yang masih menyakini Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta.

4. Syirik Hakimiyah

Termasuk syirik haktmiyah adalah membuat undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam, serta membolehkan diberlakukannya undang-undang tersebut atau beranggapan bahwa hukum Islam tidak sesuai lagi dengan zaman.

Yang tergolong musyrik dalam hal ini adalah para hakim yang membuat dan memberlakukan undang-undang, serta orang-orang yang mematuhinya, jika menyakini kebenaran undang-undang tersebut dan rela dengannya.

5. Syirik Tawakkal

Secara etimologi, tawakkal ialah bersandar dan pasrah, jadi tawakkal termasuk amalan hati. Secara syar’i adalah pasrah dengan sebenar-benarnya dan menyerahkan perkara kepada Allah setelah berusaha dengan sungguh-sungguh. Ia termasuk jenis ibadah yang wajib dimurnikan bagi Allah saja. Allah berfirman dalam kitab-Nya:

Hendaklah kamu bertawakkal kepada Allah saja, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (al-Maidah: 23)

Tawakkal ada tiga jenis:

1. Tawakkal dalam perkara yang hanya mampu dilaksanakan oleh Allah saja. Tawakkal jenis ini harus diserahkan kepada Allah semata, jika seseorang menyerahkan atau memasrahkannya kepada selain Allah, maka ia termasuk Musyrik.

2. Tawakkal dalam perkara yang mampu dilaksanakan para makhluk. Tawakkal jenis ini seharusnya juga diserahkan kepada Allah, sebab menyerahkannya kepada makhluk termasuk syirik asghar (syirik kecil).

3. Tawakkal dalam arti kata mewakilkan urusan kepada orang lain dalam perkara yang mampu dilaksanakannya. Seperti: Dalam arusan jual beli, pernikahan dan lain-lainnya. Tawakkal jenis ini diperbolehkan, hanya saja, hendaklah seseorang letup bersandar kepada Allah meskipun urusan itu diwakilkan kepada makhluk.

6. Syirik Niat Dan Maksud

Yaitu beribadah dengan maksud mencari pamrih manusia semata, mengenai hal ini Allah berfirman:

Barangsiapa menghendaki kehidapan dunia dan perhiasannya, niscay Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang
yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (Hud:15-16)

Syirik jenis ini banyak menimpa kaum Munafikin yang telah terbiasa beramal karena riya’.

Sebagai penutup dari bahasan ini, kami lanjutkan dengan membahas syirik ashghar (syirik kecil). Pembagian ini sesuai dengan sabda Rasulullah. “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalian adalah syirik kecil.” Apa saja yang termasuk syirik kecil?

2. Syirik Ashghar (Syirik Kecil)

Syirik Ashghar

syirik yang tidak mengeluarkan pelakunya dari dienul Islam, hanya mengurangi nilai tauhid. Ia merupakan dosa besar yang
dapat menghantar kepada syirik akbar.

Macam-macam syirik asghar

Syirik Asghar terbagi menjadi dua:

1. Dhahir (nyata)

Syirik Dhahir juga terbagi dua:

1. Berupa ucapan

Seperti: Bersumpah dengan selain nama Allah; Ucapan: Maa Sya Allah wa Syi’ta (atas kehendak Allah dan kehendakmu), ucapan: “Kalan bukan karena Allah dan karena Fulan” dan lain-lainnya

Hal ini berdasarkan sabda Nabi,

Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia telah berbuat syirik. (HSR Ahmad)

Dan sabda nabi yang lain:

Janganlah kamu berkata: “Atas kehendak Allah dan kehendak fulan.” tapi katakanlah: “Atas kehendak Allah, kemudian
kehendak fulan.” (HSR Ahmad)

2. Berupa amalan

Seperti: Memakai gelang, benang, dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal mara bahaya, jika ia menyakini bahwa benda-benda tersebut hanya sarana tertolak atau terangkatnya bala’. Namun, bila dia menyakini bahwa benda-benda itulah yang menolak dan menangkal bala’, hal itu termasuk syirik akbar.

2. Khafi (tersembunyi)

Adapun syirik khafi (tersembunyi) adalah syirik yang bersumber dari amalan hati, seperti: Riya, sumi’ah dan lain-lainnya.

Hakikat Riya

Riya

adalah melakukan perbuatan karena makhluk, seperti seorang yang shalat dan puasa karena mertua, agar dipuji orang dan
lain-lainnya.

Mengenai hal ini Allah berfirman:

Barang siapa yang mengharap perternuan dengan Rabb-Nya, hendaklah ia mangerjakan amal shalih, dan jangan ia mempersekutuhan seorangpun dalam beribadah kepada-Nya. (al-Kahfi: 110)

Rasulullah juga pernah bersabda:

Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalian adalah syirik kecil yaitu Riya’. Pada hari kiamat ketika Allah mernberi balasan manusia atas amalan mereka, Allah berfirman.: `Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian tunjukan amalanrnu kepada mereka di dunia, lihatlah, apakah engkau dapati balasan di sisi mereka ?” (HSR Ahmad)

Demikianlah selayang pandang tentang syirik dan macam-macamnya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua dalam menjauhi segala macamnya. Amin Ya Robbal Alamin.

Rasulullah mengajarkan sebuah do a kepada ummat, agar berlindung diri dari bahaya syirik. Do’a tersebut sebagai berikut:

Yaa Allah, kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu, sedang kami mengetahuinya, dan kami memohon ampun kepada-Mu (atas dosa syirik yang kami lakukan) sedang kami tidak mengetahuinya. (HSR. Ahmad)

Sumber:
majalah As-Sunnah

Pengertian Ibadah, Paham Yang Salah Tentang Ibadah, Syarat Diterimanya Ibadah

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

A. Definisi Ibadah
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah.

1. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para rasulNya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecin-taan) yang paling tinggi.

3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap.

Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” [Adz-Dazariyat : 56-58]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembahNya sesuai dengan aturan syari’atNya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembahNya tetapi dengan selain apa yang disyari’at-kanNya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembahNya dan dengan syari’atNya, maka dia adalah muk-min muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Macam-Macam Ibadah Dan Keluasan Cakupannya
Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua macam keta-atan yang nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil dan membaca Al-Qur’an; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar ma’ruf nahi mungkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil . Begitu pula cinta kepada Allah dan RasulNya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepadaNya, ikhlas kepadaNya, sabar terhadap hu-kumNya, ridha dengan qadha’ -Nya, tawakkal, mengharap nikmatNya dan takut dari siksaNya.

Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepadaNya. Seperti ti-dur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal.

PAHAM-PAHAM YANG SALAH TENTANG PEMBATASAN IBADAH

Ibadah adalah perkara tauqifiyah . Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Barangsiapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami, maka ia ditolak.” [Hadits Riwayat. Al-Bukhari dan Muslim]

Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan ia ber-dosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan ta’at. Ke-mudian manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang di-syari’atkan adalah sikap pertengahan. Antara meremehkan dan malas dengan sikap ekstrim serta melampaui batas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana di-perintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat be-serta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” [Hud : 112]

Ayat Al-Qur’an ini adalah garis petunjuk bagi langkah manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu dengan ber-istiqamah dalam melaksanakan ibadah pada jalan tengah, tidak kurang atau le-bih, sesuai dengan petunjuk syari’at (sebagaimana yang diperintahkan padamu). Kemudian Dia menegaskan lagi dengan firmanNya: “Dan janganlah kamu melampaui batas.”

Tughyan adalah melampaui batas dengan bersikap terlalu keras dan memaksakan kehendak serta mengada-ada. Ia lebih dikenal dengan ghuluw.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya melakukan ghuluw dalam ibadah, di mana seorang dari mereka berkata, “Saya puasa terus dan tidak berbuka”, dan yang kedua berkata, “Saya shalat terus dan tidak tidur”, lalu yang ketiga berkata, “Saya tidak menikahi wanita”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan tidur, dan saya menikahi perempuan. Maka barangsiapa tidak menyukai jejakku maka dia bukan dari (bagian atau golongan)-ku.” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Ada Dua Golongan Yang Saling Bertentangan Dalam Soal Ibadah.

Golongan Pertama.
Yang mengurangi makna ibadah serta mere-mehkan pelaksanaannya. Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada syi’ar-syi’ar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid saja. Tidak ada ibadah di rumah, di kantor, di toko, di bidang sosial, politik, juga tidak dalam peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya.

Memang masjid mempunyai keistimewaan dan harus diperguna-kan dalam shalat fardhu lima waktu. Akan tetapi ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.

Golongan Kedua.
Yang bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai pada batas ekstrim; yang sunnah mereka angkat sampai menjadi wajib, sebagaimana yang mubah mereka angkat menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi manhaj mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lainnya.

Padahal sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang bid’ah.

PILAR-PILAR UBUDIYAH YANG BENAR

Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar sentral, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut) dan raja’ (harapan).

Rasa cinta harus dibarengi dengan sikap rasa rendah diri, se-dangkan khauf harus dibarengi dengan raja’ . Dalam setiap ibadah ha-rus terkumpul unsur-unsur ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang sifat ham-ba-hambaNya yang mukmin:

“Artinya : Dia mencintai mereka dan mereka mencintaiNya.” [Al-Ma’idah: 54]

“Artinya : Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyifati para rasul dan nabiNya.

“Artinya : Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu ber-segera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian salaf berkata: “Siapa yang menyembah Allah dengan rasa hubb (cinta) saja maka ia zindiq[1]. Siapa yang menyembahNya dengan raja’ (harapan) saja maka ia adalah murji’[2]. Dan siapa yang menyembahNya hanya dengan khauf (takut) saja, maka ia adalah haruriy[3]. Siapa yang menyembahNya dengan hubb, khauf dan raja’ maka ia adalah mukmin muwahhid.” Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Risalah Ubudiyah.

Beliau juga berkata: “Dien Allah adalah menyembahNya, ta’at dan tunduk kepadaNya. Asal makna ibadah adalah adzdzull (hina). Dikatakan ” ” jika jalan itu dihinakan dan diinjak-injak oleh kaki manusia. Akan tetapi ibadah yang diperintahkan mengandung makna dzull dan hubb. Yakni mengandung makna dzull yang paling dalam dengan hubb yang paling tinggi kepadanya. Siapa yang tunduk kepada seseorang dengan perasaan benci kepadanya, maka ia bukanlah menghamba (menyem-bah) kepadanya. Dan jika ia menyukai sesuatu tetapi tidak tunduk kepadanya, maka ia pun tidak menghamba (menyembah) kepadanya. Sebagaimana seorang ayah mencintai anak atau rekannya. Karena itu tidak cukup salah satu dari keduanya dalam beribadah kepada Allah, tetapi hendaknya Allah lebih dicintainya dari segala sesuatu dan Allah lebih diagungkan dari segala sesuatu. Tidak ada yang berhak men-dapat mahabbah (cinta) dan khudhu’ (ketundukan) yang sempurna selain Allah [4]. Inilah pilar-pilar kehambaan yang merupakan poros segala amal ibadah.

Ibnu Qayyim berkata dalam Nuniyah-nya:
“Ibadah kepada Ar-Rahman adalah cinta yang dalam kepada-Nya,
beserta kepatuhan penyembahNya.
Dua hal ini adalah ibarat dua kutub.
Di atas keduanyalah orbit ibadah beredar.
Ia tidak beredar sampai kedua kutub itu berdiri tegak.
Sumbunya adalah perintah,
perintah rasulNya.
Bukan hawa nafsu dan syetan.”

Ibnu Qayyim menyerupakan beredarnya ibadah di atas rasa cinta dan tunduk bagi yang dicintai, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beredarnya orbit di atas dua kutubnya. Beliau juga menyebutkan bahwa beredarnya orbit ibadah adalah berdasarkan perintah rasul dan syari’atnya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan setan. Karena hal yang demikian bukanlah ibadah. Apa yang disyari’atkan baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang memutar orbit ibadah. Ia tidak diputar oleh bid’ah, nafsu dan khurafat.

SYARAT DITERIMANYA IBADAH

Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan ada syarat.

1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illa-llah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya.

Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahuwa muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam mengatakan: “Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa yang Dia syariatkan, tidak dengan bid’ah.” Seba-gaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” [Al-Kahfi : 110]

Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak menyembah kecuali kepadaNya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad adalah utusanNya yang menyampaikan ajaranNya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta menta’ati perintahnya. Beliau telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau mengatakan bahwa bid’ah itu sesat.

Referensi
[1]. Zindiq adalah istilah untuk setiap munafik, orang yang sesat dan mulhid, -pent.
[2]. Murji’ adalah orang Murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagiandari iman. Iman hanya dengan hati ,-pent
[3]. Harury adalah orang dari golongan Khawarij, yang pertama kali muncul di Harurro, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa adalah kafir ,-pebt
[4]. Majmu’ah Tauhid Najdiyah 542

Sumber:
kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali
almanhaj.or.id

Berpegang Teguh Dengan Al-Quran Dan As-Sunnah

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Mereka menjadikan keduanya ini sebagai dasar pertama bagi mereka, karena al-Qur’an dan as-Sunnah adalah satu-satunya sumber untuk mengambil atau mempelajari ‘aqidah Islam. Seorang muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu, apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah wajib diterima dan ditetapkan oleh seorang muslim dan apa yang dinafikan (ditolak) oleh keduanya, maka wajib bagi seorang muslim untuk menafikan dan menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan melainkan dengan cara berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

Allah Azza wa jalla berfirman.

“Artinya : Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, maka tidak ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” [Al-Ahzab: 36]

Sikap orang yang beriman kepada Allah Azza wa jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus mendengar dan ta’at dan tidak boleh menolak apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Oleh karena itu Allah Azza wa jalla menyatakan, bahwasanya orang yang enggan dan menolak untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dikatakan beriman.

Allah Azza wa jalla berfirman

“Artinya : Maka, demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa’: 65]

Allah Azza wa jalla juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, manakala mereka berselisih, dalam menentukan jalan keluar dari apa yang mereka perselisihkan. Simaklah firman-Nya berikut ini:

“Artinya : ika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali-kanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa’: 59]

Imam ‘Atha’ Rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini: “Kembali kepada Allah maksudnya adalah, kembali kepada kitab Allah Azza wa jalla. Sedangkan kembali kepada Rasul maksudnya adalah kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Hal ini ditafsirkan juga oleh Mujahid dan ulama Salaf lainnya.[1]

Hal yang paling besar yang membedakan antara Salaf dengan yang lain dari golongan pelaku bid’ah (ahli bid’ah) adalah, Salaf menghormati dan menjunjung tinggi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah bagi mereka adalah penjelas, penafsir dan pengurai al-Qur’an, baik dalam bidang aqidah maupun syari’ah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengambil lahiriyah hadits, tidak mena’wilkan serta tidak menolaknya dengan argumentasi yang lemah, sebagaimana ahli kalam yang mengatakan, bahwa hadits-hadits itu adalah hadits-hadits Ahad yang tidak bisa untuk dijadikan sebagai dasar ilmu dan keyakinan.

Imam asy-Syafi’i Rahimahullah melihat bahwa di dalam syari’ah, kedudukan as-Sunnah adalah seperti al-Qur’an. Apa yang ditetapkan dalam as-Sunnah adalah seperti apa yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan apa yang diharamkan oleh as-Sunnah sama dengan apa yang diharamkan dalam al-Qur’an. Sebabnya adalah karena keduanya berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. [2]

Referensi
1. Tafsiir Ibni Katsiir (I/568, cet. Daarus Salam)
2. Lihat Manhajul Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/86).

Sumber:
kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Almanhaj.or.id

Sifat ‘Uluw [Ketinggian] Bagi Allah

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Uluwullah Ta’ala termasuk dari sifat-sifat zatiah (yang terus-menerus Allah bersifat dengannya), dan dia terbagi dua jenis: Uluw (ketinggian) zat dan uluw sifat.
1.    Adapun uluw sifat, maka maknanya adalah bahwa tidak ada satu pun sifat sempurna kecuali hanya milik Allah Ta’ala yang paling tinggi dan paling sempurnanya, baik sifat itu termasuk dari sifat-sifat pujian dan kekuatan maupun termasuk sifat-sifat keindahan dan kekuasaan.
2.    Adapun uluw zat, maka maknanya adalah bahwa Allah -dengan zat-Nya- berada di atas seluruh makhluk-Nya. Ini ditunjukkan oleh Al-Kitab, As-Sunnah , ijma’, akal dan fitrah.
Adapun Al-Kitab dan As-Sunnah, maka keduanya penuh berisi dalil-dalil yang tegas dan jelas dalam menetapkan uluwullah Ta’ala dengan zat-Nya di atas seluruh makhluk-Nya.
Pendalilan keduanya terhadap sifat uluw ini sangat beraneka ragam:
1.    Terkadang dengan penyebutan terhadap sifat uluw, fauqiah (di atas), istiwa’ di atas arsy dan bahwa Dia berada di atas langit. Seperti firman Allah Ta’ala, “Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255) “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi,” (QS. Al-A’la: 1) “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”(QS. An-Nahl: 50) “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5) “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS.Al-Mulk: 16). Juga sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Arsy berada di atas semua itu dan Allah berada di atas arsy.”(1) dan sabda beliau, “Tidaklah kalian percaya kepadaku padahal saya adalah orang kepercayaannya Siapa yang di atas langit.”(2)

2.    Terkadang dengan penyebutan naiknya, ke atasnya dan diangkatnya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Allah Ta’ala, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.”(QS. Fathir: 10), firman Allah Ta’ala, “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’arij: 4), dan firman Allah Ta’ala, “Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.” (QS. An-Nisa: 158). Juga sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Tidak ada yang naik kepada Allah kecuali sesuatu yang baik,”sabda beliau -alaihishshalatu wassalam-, “Kemudian para malaikat yang bermalam di sisi kalian naik kepada Rabb mereka,” dan sabda beliau -alaihishshalatu wassalam-, “Amalan malam diangkat kepada-Nya sebelum dimulainya amalan siang dan amalan siang diangkat kepada-Nya sebelum dimulainya amalan malam.” (HR. Ahmad)

3.    Terkadang dengan penyebutan turunnya sesuatu dari-Nya dan semacamnya. Seperti firman Allah Ta’ala, “Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.” (QS. Al-Waqiah: 80) dan firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar.” (QS. An-Nahl: 102). Juga sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Rabb kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir.” (3)
Dan selain ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutawatir dari Nabi -alaihissalatu wassalam- tentang sifat uluwullah Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya dengan kemutawatiran yang mengharuskan lahirnya keyakinan yang pasti bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengucapkan hadits-hadits tersebut dari Rabbnya dan umat beliau menerimanya dari beliau.

Adapun ijma, maka para sahabat, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik serta para imam ahlussunnah telah bersepakat bahwa Allah Ta’ala berada di atas langit-langit-Nya, di atas arsy-Nya. Ucapan-ucapan mereka sangat banyak menunjukkan hal tersebut dengan ucapan yang tegas dan jelas. Al-Auzai berkata, “Kami berkata -sementara para tabi’in masih banyak yang hidup-: Sesungguhnya Allah -Yang Maha Tinggi penyebutan-Nya- berada di atas arsy-Nya dan kami mengimani setiap sifat-Nya dan kami mengimani semua sifat yang disebutkan dalam As-Sunnah.”(4) Al-Auzai mengucapkan hal ini setelah munculnya mazhab Jahm yang menafikan sifat-sifat Allah dan ketinggian-Nya,  agar manusia mengetahui bahwa mazhab salaf itu bertentangan dengan mazhab Jahm.
Tidak ada seorang pun dari ulama salaf yang pernah berkata bahwa Allah tidak berada di atas langit, atau Dia -dengan zat-Nya- berada di mana-mana, atau semua tempat sama saja bagi diri-Nya, atau Dia tidak boleh diisyaratkan dengan syarat hissiah (ditunjuk atau ditanyakan tempat keberadaan-Nya). Bahkan makhluk yang paling mengenal Allah sendiri telah berisyarat kepada-Nya di haji wada` pada hari arafah dalam pertemuan akbar itu, tatkala beliau menunjukkan jari beliau ke langit seraya bersabda,“Ya Allah, persaksikanlah.” Beliau meminta Rabbnya menjadi saksi akan pengakuan umat beliau bahwa beliau telah menyampaikan risalah, shalawat dan salam Allah kepada beliau.

Adapun akal, maka semua akal yang sehat akan menunjukkan wajibnya sifat ketinggian bagi Allah –dengan zat-Nya- di atas seluruh makhluk-Nya. Hal ini bisa ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Uluw adalah sifat sempurna, sementara Allah wajib bersifat dengan kesempurnaan yang mutlak dari seluruh sisi. Maka kelazimannya sifat uluw ini tsabit untuk Allah -Tabaraka wa Ta’ala.
Kedua: Uluw lawannya sulf (rendah) dan rendah adalah sifat kurang, sementara Allah harus disucikan dari semua sifat kekurangan. Maka kelazimannya Dia harus disucikan dari sifat rendah dan tsabitnya kebalikan darinya, yaitu sifat uluw.

Adapun fitrah, maka Allah Ta’ala telah memfitrahkan seluruh makhluk -baik yang arab maupun yang ajam (non arab) sampai binatang sekalipun- untuk beriman kepada-Nya dan sifat ketinggian-Nya. Kerena tidak ada seorang pun hamba yang menghadap kepada Allah dengan sebiah doa atau ibadah kecuali dia merasakan di dalam dirinya keharusan mencari ke arah atas dan dia merasa niat hatinya ke langit, tidak menoleh kearah lainnya, tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri. Tidak ada yang menyimpang dari keharusan fitrah ini kecuali orang yang telah digelincirkan oleh setan-setan dan hawa nafsu.
Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini pernah berkata dalam majelisnya, “Allah sudah ada dari dahulu dan ketika itu belum ada apa-apa, dan sekarang Dia tetap sebagaimana keadaan-Nya dahulu.” Dia mengucapkan ini untuk mengingkari sifat istiwa` Allah di atas arsy-Nya. Maka Abu Ja’far Al-Hamdani berkata, “Tidak usah kamu menyinggung-nyinggung tentang arsy di hadapan kami -maksudnya arsy itu jelas ada berdasarkan wahyu-, tapi terangkanlah kepada kami tentang keharusan yang kami rasakan dalam hati-hati kami. Tidak ada seorang pun yang mengenal Allah yang berkata, “Ya Allah.” Kecuali dia merasakan di dalam hatinya keharusan untuk mencari ke arah atas, tidak menoleh kekanan dan tidak pula ke kiri. Bagaimana bisa kami menolak sesuatu yang pasti ini dari dalam hati kami!?” Maka Abu Al-Ma’ali berteriak sambil memukul kepalanya seraya berkata, “Al-Hamdani telah membuatku bingung, Al-Hamdani telah membuatku bingung.” (Lihat As-Siar (18/475))

Inilah lima dalil yang semuanya bersepakat untuk menetapkan sifat uluwullah deng zat-Nya di atas seluruh makhluk-Nya.

Adapun firman Allah Ta’ala, “Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (QS.Al-An’am: 3) dan firman Allah Ta’ala, “Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi,” (QS. Az-Zukhruf: 84) maka bukan maknanya bahwa Allah berada di bumi sebagaimana Dia berada di atas langit. Barang siapa yang menyangka demikian atau menukil sangkaan tersebut dari seorang ulama salaf, maka dia telah salam dalam sangkaannya dan berdusta dalam penukilannya itu.

Ayat yang pertama hanyalah bermakna bahwa Allah adalah ma`luh (sembahan) di langit dan di bumi, semua yang ada pada keduanya menyembah dan beribadah kepada-Nya. Ada yang mengatakan: Maknanya adalah bahwa Allah berada di atas semua langit, kemudian Dia memulai dengan kalimat baru dengan firman-Nya, “Di bumi, Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan,” (QS. Al-An’am: 3) yakni: Sesungguhnya Allah mengetahui semua yang kalian sembunyikan dan yang kalian nampakkan di bumi.

Adapun ayat yang kedua, maka maknanya adalah bahwa Allah adalah ilah (sembahan) di langit dan ilah di bumi, sehingga uluhiah-Nya tsabit paa keduanya (langit dan bumi) walaupun Dia sendiri berada di atas langit. Semisal dengannya ucapan seseorang: “Fulan adalah penguasa di Makkah dan penguasa di Madinah,” maksudnya: Kekuasaannya tsabit pada kedua negeri tersebut walaupun dia sendiri tinggal di salah satu dari kedua negeri tersebut. Dan ini adalah ungkapan yang benar, baik dari sisi bahasa maupun sisi ‘urf (kebiasaan), wallahu a’lam.

Referensi
1.    (Lihat I’tiqad Ahlissunnah karya Al-Lalakai (3/395/659) dan Mukhtashar Al-Uluw no. 48 karya Al-Albani. Hadits ini dishahihkan oleh Adz-Dzahabi dan Ibnul Qayyim serta dihukumi jayyid oleh Syaikh Al-Albani, sementara sanadnya mauquf)
2.    (HR. Al-Bukhari (4301) Kitab Al-Maghazi, 16. Bab Pengutusan Ali bin Abi Thalib. Dan Muslim (1064) Kitab Az-Zakah, 47. Bab Penyebutan Khawarij dan sifat-sifat mereka.)
3.    (HR. Al-Bukhari (1145) Kitab Abwab At-Tahajjud, 14. Bab Berdoa dan Shalat di akhir malam, dan Muslim (758) Kitab Shalat Al-Musafirin, 24. Bab Motifasi untuk berdoa dan berzikir di akhir malam dan bahwa doa dikabulkan padanya)
4.    (Lihat Siar A’lam An-Nubala` (7/121) dan Fathul Bari (13/406))

Sumber:
Talkish Al-Hamawiah
al-atsariyyah.com

Arsy [Singgasana] Allah

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa ‘Arsy Allah dan Kursi-Nya adalah benar adanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Maka, Mahatinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” [Al-Mu’minuun: 116]

Juga firman-Nya:
“Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Mahamulia.” [ Al-Buruuj: 15]

Apabila seseorang Muslim mengalami kesulitan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan untuk membaca:

“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Yang Mahaagung lagi Maha Penyantun. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Rabb (Pemilik) ‘Arsy yang agung. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Rabb langit dan juga Rabb bumi, serta Rabb Pemilik ‘Arsy yang mulia.” [1]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“… Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohon-lah kepada-Nya Surga Firdaus. Sesungguhnya ia (adalah) Surga yang paling utama dan paling tinggi. Di atasnya terdapat ‘Arsy Allah yang Maha Pengasih…” [2]

‘Arsy yaitu singgasana yang memiliki beberapa tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Ia menyerupai kubah bagi alam semesta. ‘Arsy juga merupakan atap seluruh makhluk. [3]

‘Arsy Allah dipikul oleh para Malaikat, dan jarak antara pundak Malaikat tersebut dengan telinganya sejauh perjalanan burung terbang selama 700 tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Telah diizinkan bagiku untuk bercerita tentang sosok Malaikat dari Malaikat-Malaikat Allah Azza wa Jalla yang bertugas sebagai pemikul ‘Arsy, bahwa jarak antara daun telinganya sampai ke bahunya adalah sejauh perjalanan 700 tahun.” [4]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.” [5]

Adapun tentang Kursi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” [Al-Baqarah : 255]

Dari Sa’id bin Jubair bahwasanya ketika Sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu menafsirkan firman Allah:
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi,”

beliau berkata:

“Kursi adalah tempat meletakkan kaki Allah, sedangkan ‘Arsy tidak ada yang dapat mengetahui ukuran besarnya melainkan hanya Allah Ta’ala.” [6]

Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.”

Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah mencipta-kan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu.” [7]

Referensi
1. HR. Al-Bukhari (no. 6345), Muslim (no. 2730), at-Tirmidzi (no. 3435) dan Ibnu Majah (no. 3883), dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
2. HR. Al-Bukhari (no. 2790, 7423), Ahmad (II/335, 339) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 581), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
3. Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 366-367), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.
4. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4727), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, sanadnya shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 151), Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.
5. HR. Muhammad bin Abi Syaibah dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Sahabat Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu ‘anhu . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (I/223 no. 109).
6. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 12404), al-Hakim (II/282) dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368-369), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.
7] Ibid, hal. 372.

Sumber:
kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Allah Istiwa’ Diatas ‘Arsy

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Sifat istiwa’ adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh:

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Artinya:

“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”

Dan dalam Surat Thaha 5 dengan lafazh:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Artinya:

“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.”

Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga telah menetapkan sifat ini untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya:

1. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ -فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي

“Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya menciptakan jenis makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) – dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy (singgasana) – : “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)

3. Hadits Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullahshollallahu’alaihiwasallam bersabda:

لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ اسْتَوَى عَلَى عَرْشِهِ.

“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para perawinya tsiqah)

B. Arti Istiwa’

Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan wahyu – berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian). Hal ini adalah kesepakatan salaf dan ahli bahasa. Tidak ada yang memahaminya dengan arti lain di kalangan salaf dan ahli bahasa.

Adapun ‘Arsy, secara bahasa artinya Singgasana kekuasaan. ‘Arsy adalah makhluk tertinggi. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ

“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus, karena sungguh ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya sungai-sungai surga mengalir.” (HR. Al-Bukhari)

‘Arsy juga termasuk makhluk paling besar. Allah menyifatinya dengan ‘adhim (besar) dalam Surat An-Nahl: 26. Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:

الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ ، وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدِرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تعالى.

“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana) tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan Al-Albani)

Allah juga menyifatinya dengan Karim (mulia) dalam Surat Al-Mukminun: 116 dan Majid (agung) dalam Surat Al-Buruj: 15.

Dalam suatu hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa ‘Arsy memiliki kaki, dan dalam surat Ghafir: 7 dan Al-Haaqqah: 17 disebutkan bahwa ‘Arsy dibawa oleh malaikat-malaikat Allah.

Ayat dan hadits yang menjelaskan tentang istiwa’ di atas ‘Arsy menunjukkan hal-hal berikut:

  1. Penetapan sifat istiwa di atas ‘Arsy bagi Allah, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
  2. Bahwa Dzat Allah berada di atas.

C. Beberapa Peringatan Penting

Pertama:

Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (الرحمن على العرش استوى), Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:

الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.

“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali)

Kedua:

Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ tanpa merubah (ta’wil/tahrif) pengertiannya, juga tanpa menyerupakan (tasybih/tamtsil) sifat ini dengan sifat istiwa’ makhluk.

Ketiga:

Menafsirkan istawa (اِسْتَوَى) dengan istawla (اِسْتَوْلَى) yang artinya menguasai adalah salah satu bentuk ta’wil yang bathil. Penafsiran ini tidak dikenal di kalangan generasi awal umat Islam, tidak juga di kalangan ahli bahasa Arab. Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan bahwa penafsiran ini pertama kali dimunculkan oleh orang-orang Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Mereka ingin menafikan sifat keberadaan Allah di atas langit dengan penafsiran ini. Kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah, tapi bukan itu arti istiwa’.

Keempat:

Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى) dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal, berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.

Kelima:

Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya, tapi justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain. Dengan hikmah-Nya Allah menciptakan ‘Arsy untuk istiwa’ diatasnya, dan Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun. Wallahu a’lam.

D. Faedah Mempelajari Asma dan Sifat Allah

Semoga Allah merahmati Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi yang berkata: “……Ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama) adalah ilmu paling mulia, karena kemulian suatu ilmu tergantung pada apa yang dipelajarinya. Ia adalah Fiqih Akbar dibandingkan dengan Ilmu Fiqih furu’ (cabang-cabang agama). Karenanya Imam Abu Hanifah menamakan apa yang telah beliau ucapkan dan beliau kumpulkan dalam lembaran-lembaran berisi pokok-pokok agama sebagai “Al-Fiqhul Akbar“. Kebutuhan para hamba kepadanya melebihi semua kebutuhan, dan keterdesakan mereka kepadanya di atas semua keterdesakan, karena tiada kehidupan untuk hati, juga tidak ada kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintaiNya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepadaNya tanpa yang lain……”

Referensi:

  1. Al-Mausu’ah Asy-Syamilah, dikeluarkan oleh Divisi Rekaman Masjid Nabawi.
  2. Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi.
  3. Mudzakkirah Tauhid, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.

Tambahan dari Al-Akh Abu Mushlih:

Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsyistawaa. Secara bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:

  1. ‘ala (tinggi)
  2. Irtafa’a (terangkat)
  3. Sho’uda (naik)
  4. Istaqarra (menetap)

Sehingga makna Allah istiwa’ di atas ‘Arsy ialah menetap tinggi di atas ‘Arsy.

Sedangkan makna ‘Arsy secara bahasa ialah: Singgasana Raja. Adapun ‘Arsy yang dimaksud oleh ayat ialah sebuah singgasana khusus milik Allah yang memiliki pilar-pilar yang dipikul oleh para malaikat. Sebagaimana disebutkan di dalam ayat yang artinya, “Dan pada hari itu delapan malaikat memikul arsy.” Dan Allah sama sekali tidak membutuhkan ‘Arsy, tidak sebagaimana halnya seorang raja yang membutuhkan singgasananya sebagai tempat duduk.

Demikianlah yang diterangkan oleh para ulama. Satu hal yang perlu diingat pula bahwabersemayamnya Allah tidak sama dengan bersemayamnya makhluk. Sebab Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa persis dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11). Oleh sebab itu, tidak sama bersemayamnya seorang raja di atas singgasananya dengan bersemayamnya Allah di atas arsy-Nya. Inilah keyakinan yang senantiasa dipegang oleh para ulama terdahulu yang shalih serta para pengikut mereka yang setia hingga hari kiamat. Wallahu a’lam bish showaab (silakan baca kitab-kitab Syarah Aqidah Wasithiyah dan kitab-kitab aqidah lainnya).

Sumber:
Ustadz Abu Bakr Anas Burhanuddin

Ma’iyyah [Kebersamaan] Allah

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

firman Allah Azza wa Jalla.

“Dan tidaklah terjadi pembicaraan yang rahasia antara tiga orang, melainkan Allah yang keempatnya, dan tidak terjadi pembicaraan antara lima orang, melainkan Allah yang keenamnya, dan tidak pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada…” [Al-Mujaadilah: 7]

Allah Subhanah tetap bersama mereka di mana saja mereka berada, yaitu Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.

Ma’iyyah Ada Dua Macam.

Pertama: Ma‘iyyah Khusus.
Yaitu kebersamaan Allah dengan sebagian makhluk-Nya yang kita tidak tahu tentang kaifiyatnya, kecuali Allah, seperti seluruh Sifat-Sifat-Nya. Ma’iyyah ini mengandung makna bahwa Allah meliputi hamba-Nya yang dicintai, menolongnya, memberikan taufiq, menjaganya dari kebinasaan dan lainnya sebagaimana diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dan berbuat baik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” [An-Nahl: 128]

Kedua: Ma‘iyyah Umum.
Yaitu kebersamaan Allah dengan seluruh makhluk-Nya, di mana Allah mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya dan Allah mengetahui semua keadaan mereka, mengetahui tindak-tanduk mereka yang lahir maupun bathin, dan yang seperti ini tidak berarti Allah bersatu dengan hamba-Nya, karena Allah tidak dapat diqiyaskan dengan hamba-Nya. Dan tingginya Allah di atas makhluk-Nya tidak menafikan (meniadakan) kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya, berbeda dengan makhluk-Nya, karena keberadaan makhluk di satu tempat (arah), pasti dia tidak tahu tempat (arah) yang lainnya. Allah tidak sama dengan sesuatu apa pun karena kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-Nya.

“Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa’ (bersemayam) di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Hadiid: 4]

Pengertian “Allah bersamamu,” bukanlah berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala bersatu, bercampur atau bergabung dengan makhluk-Nya, karena hal ini tidak dibenarkan secara bahasa serta menyalahi ijma’ Salafush Shalih, dan hal ini bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan bulan sebagai satu tanda dari tanda-tanda (kebesaran dan ketinggian) Ilahi, yang termasuk di antara makhluk-Nya yang terkecil yang terletak di langit, ia (bulan) dikatakan bersama musafir di mana saja musafir itu berada meskipun ia berada di ketinggian sana.

Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan Allah tetap mengawasi makhluk-Nya, mengamati (gerak-gerik) mereka, serta mengintai (memperhatikan) perbuatan mereka.

Termasuk dalam hal ini adalah mengimani bahwa Allah itu dekat dan Dia mengabulkan (setiap do’a hamba-Nya).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a kepada-Ku.” [Al-Baqarah: 186]

Apa yang telah dituturkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, bahwa Allah dekat dan bersama makhluk-Nya, tidaklah bertentangan dengan yang Allah firmankan, bahwa Allah Mahatinggi dan bersemayam di atas ‘Arsy, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala Sifat-Sifat-Nya. Dia Mahatinggi dalam kedekatan-Nya, tetapi dekat dalam ketinggian-Nya.[1]

Hal ini disebutkan dalam sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“… Sesungguhnya Allah Yang engkau berdo’a kepada-Nya, lebih dekat kepada seseorang di antara kamu daripada leher binatang tunggangannya.”[2]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]

Refernsi
1. Lihat at-Tanbiihaatul Lathiifah (hal. 63-66) oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dan Syarah ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 167) oleh Khalil Hirras.
2. HR. Al-Bukhari (no. 2992, 4202, 6384, 6409, 6610), Muslim (no. 2704 (46)) dan Ahmad dalam Musnadnya (IV/402), dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu. Lafazh hadits ini milik Ahmad.

Sumber:
Almanhaj.or.id

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (4)

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

KAIDAH KEEMPAT: Bantahan kita terhadap Mu’aththilah (para penolak Sifat).

Kaum Mu’aththilah itu terbagi-bagi ke dalam beberapa kelompok. Diantara mereka ada pihak yang mengingkari Nama dan Sifat Allah secara mutlak semacam kelompok Jahmiyah. Ada pula pihak yang mengingkari Sifat saja semacam kelompok Mu’tazilah. Ada pula yang mengingkari sebagian Sifat dengan tetap menetapkan Nama-Nama Allah semacam kelompok Asyaa’irah (yang mengaku-aku pengikut Imam Abul Hasan Al Asy ‘ari-pent). Diantara mereka ada yang terjerumus dalam sikap tafwidh(menyerahkan lafazh, makna dan kaifiyah Sifat hanya kepada Allah-pent). Ada yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang saling bertolak belakang seperti, “Allah itu tidak hidup juga tidak mati, tidak mendengar juga tidak melihat (mungkin maksud beliau tidak tuli, wallahu a’lam-pent), tidak bisu tapi juga tidak berbicara, dst.” Itu semua mereka lakukan dengan alasan untuk menghindar dari penyerupaan/tamtsil. Pendapat terakhir ini adalah madzhab orang-orang mulhid/atheis di kalangan sekte Bathiniyah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -semoga Allah Ta’ala merahmati beliau- menerangkan bagaimana cara membantah orang-orang semacam ini. Beliau mengatakan: “Pendapat-pendapat yang mereka lontarkan bertentangan dengan makna zhahir dari nash-nash yang ada, juga menyimpang dari manhaj/metode para Salaf, dan tidak ada dalil shahih yang mendukung pendapat mereka. Bahkan untuk membantah (kesalahan) mereka dalam beberapa Sifat tertentu bisa ditambahkan bantahan keempat bahkan bisa jadi lebih banyak dari itu.” Yang dimaksud oleh beliau (Syaikh ‘Utsaimin) ialah penambahan terhadap tiga bantahan yang telah diajukan tadi sangat mungkin untuk disampaikan sehingga jumlahnya menjadi empat bantahan dan bahkan bisa lebih banyak daripada itu tergantung Sifat mana yang sedang dibicarakan.

Faidah:

Apakah perbedaan tahrif dengan ta’thil?

Tahrif terjadi pada dalil (merubah lafazh maupun maknanya, lihat Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Al Wasithiyah hlm 6 oleh Syaikh Al Utsaimin-pent) sedangkan ta’thil terjadi pada madlul/makna yang ditunjukkan dalil. “Syaikh Utsaimin juga mendefinisikan ta’thil sebagai pengingkaran Nama atau Sifat yang seharusnya ditetapkan dimiliki Allah, dengan bentuk ta’thil kulli/total seperti yang dilakukan oleh Jahmiyah atau ta’thil juz’i/sebagian’ seperti yang dilakukan oleh Asy’ariyah” [yang ada dalam tanda petik adalah tambahan dari penterjemah]. (Sehingga setiap orang yang melakukan tahrif pasti melakukan ta’thil akan tetapi tidak setiap orang yang melakukan ta’thil itu mesti melakukan tahrif, lihatlah Syarah ‘Aqidah Wasithiyah Syaikh Shalih Al Fauzan hlm 15 -pent).

Misalnya, ada seseorang yang mengomentari firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua Tangan Allah terbentang” dengan menyatakan “(dua Tangan) itu artinya dua Kekuatan-Nya.” Maka orang ini telah terjerumus dalam tindakan tahrif terhadap dalil dan sekaligus melakukan ta’thil terhadap madlul/makna yang ditunjukkan oleh dalil; yaitu Tangan yang hakiki. Dengan demikian kita mengetahui bahwa kelompok Mufawwidhah/pelaku tafwidh (diantara mereka Syaikh Hasan Al Banna pendiri Jama’ah Al Ikhwan Al Muslimin, semoga Allah mengampuninya dan memberi hidayah taufiq kepada para pemujanya-pent) termasuk dalam jajaran penolak Sifat (Mu’aththilah).

Demikianlah kemudahan yang dianugerahkan Allah kepada saya guna menjelaskan kaidah-kaidah ini, semoga Allah menjadikannya bermanfaat. Segala Puji dari awal sampai akhir bagi Allah Rabb penguasa alam semesta. Semoga shalawat dan barakah tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Sumber:
muslim.or.id
Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (3)

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

1. Seluruh Sifat Allah adalah tinggi, penuh dengan kesempurnaan dan sanjungan.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan hanya kepunyaan Allah-lah matsalul a’la (Sifat yang Maha Tinggi).” (QS. An Nahl: 60). Yang dimaksud matsalul a’la/Sifat-Sifat yang paling tinggi adalah sifat yang paling sempurna. Di dalam kaidah bahasa Arab mendahulukan ungkapan yang seharusnya ditaruh di belakang (yaituLillaahi-Hanya kepunyaan Allah-pent) memiliki fungsi pembatasan dan pengkhususan. Sehingga seolah-olah Allah Ta’ala membatasi sifat-sifat yang paling sempurna itu hanya ada pada-Nya dan Dia Mengistimewakan Sifat tersebut khusus bagi Diri-Nya, inilah gaya bahasa Al Qur’an yang sangat indah!!

Rabb Sesembahan yang berhak menerima peribadahan pasti memiliki Sifat-Sifat yang kesempurnaan-Nya mencapai puncak tertinggi diantara segala macam sifat kesempurnaan. Sebagaimana Allah telah menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap berhala-berhala dengan cara mensifati mereka dengan sifat-sifat yang penuh kekurangan. Allah Ta’ala berfirman, “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi madharat kepada kamu?” (QS. Al Anbiyaa’: 66). Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do’a)nya sampai hari kiamat dan mereka (sesembahan selain Allah-pent) lalai dari (memperhatikan) do’a mereka.” (QS. Al Ahqaaf: 5). Allah mensifati berhala-berhala itu dengan ketidakmampuan mereka dalam memberikan manfaat dan menimpakan madharat, serta ketidakmampuan mereka mengabulkan permintaan dan justru lalai dari do’a yang mereka serukan.

Semua Sifat Allah adalah sifat kesempurnaan. Dalam penetapannya, sifat terbagi menjadi beberapa bagian:

  1. Sifat yang menunjukkan kesempurnaan secara mutlak. Sifat semacam ini ditetapkan pasti dipunyai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
  2. Sifat yang menunjukkan kekurangan secara mutlak. Sifat semacam ini tidak mungkin dipunyai oleh Allah Ta’ala.
  3. Sifat yang apabila ditinjau dari suatu keadaan menunjukkan kesempurnaan dan apabila ditinjau dari keadaan yang lain justru menunjukkan kekurangan. Sifat semacam ini dinisbatkan kepada Allah dengan diiringi taqyid/ikatan makna dalam rangka menampakkan Kekuasaan Allah membalas dengan jenis balasan yang serupa dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia, maka dalam konteks seperti ini sifat tersebut menjadi sifat kesempurnaan. Sifat yang semacam ini misalnya Al Makr (makar), Al Khidaa’ (tipu daya), Istihzaa’ (Mengolok-olok) dan Al Kaid (memperdaya). Terhadap sifat-sifat semacam ini kita katakan, Allah berkuasa membalas makar para pembuat makar, Allah mampu membalas tipu daya para pembuat tipu daya,… sehingga kita tidak boleh mensifati Allah dengan sifat makar dan tipu daya, akan tetapi kita juga tidak diperbolehkan menolaknya namun sifat semacam ini hanya boleh ditetapkan (dengan diiringi taqyid/ikatan makna-pent) dalam konteks pembalasan.

Faidah:

Apakah semua sifat kesempurnaan yang disandang oleh Allah Ta’ala juga menjadi sifat kesempurnaan jika disandang oleh makhluk? Dan apakah semua sifat kekurangan yang tidak boleh dinisbatkan kepada Allah juga menjadi sifat kekurangan jika disandang oleh makhluk?

Jawabnya:

Tidaklah demikian. Contohnya sifat takabbur/sombong adalah sifat kesempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla. Namun sifat ini justru akan menjadi cela apabila dipunyai oleh makhluk. Contoh lainnya : makan, minum, menikah adalah sifat kesempurnaan pada diri makhluk akan tetapi sifat tersebut berubah menjadi cela apabila dinisbatkan kepada Diri Allah Ta’ala. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita menetapkan kesempurnaan secara mutlak terhadap Diri Allah Ta’ala. Serta kita wajib mensucikan-Nya dari cela secara mutlak.

2. Sifat-Sifat Allah terbagi 2: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.

Sifat-Sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang disebutkan di dalam nash-nash Al Kitab dan As Sunnah ada 2 macam yaitu:

  1. Sifat Tsubutiyah: seluruh Sifat yang ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi Diri-Nya sendiri. Atau Sifat Allah yang ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan sifat kesempurnaan dan sanjungan bagi Allah seperti contohnya pengetahuan (al ‘ilmu), pendengaran (as sam’u), kekuasaan (al qudrah), berbicara (al kalaam), bersemayam (istiwa’), turun (nuzul), dua tangan (yadain)… dst. Sifat-sifat ini semuanya kita tetapkan sesuai dengan hakikatnya yang layak bagi Allah ‘Azza wa Jalla.
  2. Sifat Salbiyah: Sifat yang ditiadakan dari Diri Allah oleh Allah Ta’ala sendiri atau ditiadakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua sifat yang ditiadakan ini adalah sifat kekurangan/cela, contohnya kematian (al maut), bodoh (al jahl) dan lemah (al ‘ajz) dst.

Ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmati aku dan kamu- bahwa kita tidak diperbolehkan mensifati Allah Ta’ala dengan peniadaan semata sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlu bida’ wal ahwaa’ (para penyeru bid’ah dan pengekor hawa nafsu-pent) yang telah mensifati Allah dengan semata-mata peniadaan. Perbuatan mereka itu bukanlah sanjungan bagi Allah, ini didasari 3 alasan yang disebutkan oleh Syaikh Al Utsaimin rahimahullahu Ta’ala dalam Al Qawaa’idul Mutsla. Beliau menerangkan:

  1. Peniadaan semata menunjukkan tidak adanya sesuatu. Sedangkan sesuatu yang tidak ada bukanlah apa-apa, sehingga dia tidak bisa disebut sempurna.
  2. Peniadaan suatu perkara terkadang terjadi karena memang sesuatu yang disifati tidak bisa menerima pensifatan tersebut. Seperti jika anda berkata, “Tembok itu tidak berbuat zhalim.”Pensifatan semacam ini tidaklah menunjukkan kesempurnaan.
  3. Peniadaan sesuatu bisa jadi karena ketidakmampuan yang ada pada sosok yang disifati. Peniadaan semacam ini bahkan menunjukkan kekurangan.

Oleh karena itulah dalam meniadakan sifat dari Diri Allah harus terkandung 2 perkara: Pertama, menolak sifat itu dipunyai oleh Allah Ta’ala dan Kedua, menetapkan lawan dari sifat itu sebagai bukti kesempurnaan Allah Ta’ala.

Contohnya sifat Al ‘Ajz/lemah, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.” (QS. Faathir: 44). Berdasarkan ayat ini kita menolak keberadaan sifat lemah pada Diri Allah Ta’ala dan juga kita harus menetapkan kesempurnaan sifat lawannya yaituilmu dan qudrah yang Maha sempurna. Contoh yang lain sifat Zhulm/aniaya, Allah Ta’ala berfirman,“Dan Tuhanmu tidak menganiaya/menzhalimi seorang juapun.” (QS. Al Kahfi: 49). Berdasarkan ayat ini kita menolak sifat zhulm/aniaya ada pada Diri Allah lalu kita tetapkan kesempurnaan lawannya yaitu keadilan Allah yang Maha sempurna.

3. Sifat Tsubutiyah terbagi 2: Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi’liyah.

Sifat-Sifat Allah Ta’ala yang ditetapkan bagi-Nya di dalam Al Kitab dan As Sunnah bisa dibagi menjadi dua:

A. Sifat Dzatiyah

Yaitu sifat yang senantiasa melekat pada Diri Allah, Sifat-Sifat yang tidak terpisahkan dari Dzat Ilahiyah. Sifat Dzatiyah ini pun terbagi 2 bila dilihat dari kandungan isinya:

A1. Sifat Dzatiyah Ma’nawiyah

Yaitu sifat yang menunjukkan kepada sesuatu yang maknawi seperti Hidup (al hayat), Mampu (qudrah), Bijaksana (hikmah), Mengetahui (al ‘ilmu) dst.

A2. Sifat Dzatiyah Khabariyah

Yaitu Sifat-Sifat Allah yang padanan namanya pada makhluk merupakan bagian dan anggota badan, seperti dua Tangan, Wajah, Kaki, Betis dan lain sebagainya.

B. Sifat Fi’liyah

Yaitu Sifat-Sifat yang kemunculannya berkaitan erat dengan Kehendak Allah. Sifat semacam ini terbagi menjadi dua berdasarkan sebab yang terkait dengannya:

  1. Sifat Allah yang sebabnya kita ketahui, seperti sifat Ridha.
  2. Sifat Allah yang tidak memiliki sebab yang diketahui, seperti sifat Istiwa’/bersemayam.

Faidah:

Diantara Sifat-Sifat Allah ada Sifat yang menjadi Sifat Dzatiyah sekaligus juga sebagai Sifat Fi’liyah berdasarkan dua sudut pandang tersebut, contohnya sifat Al Kalaam/berbicara. Sifat berbicara ini termasuk Sifat Dzatiyah bila ditinjau dari asal keberadaannya, artinya Dzat Allah pasti sanggup berbicara. Sedangkan jika ditinjau dari satu demi satu peristiwa terjadinya pembicaraan maka Sifat ini termasuk Sifat Fi’liyah, artinya Allah Ta’ala dapat berbicara kapanpun Dia kehendaki.

4. Setiap Sifat Allah dihadapkan pada 3 pertanyaan.

  1. Apakah sifat tersebut hakiki? Apa alasannya?
  2. Bolehkah melakukan takyif terhadap Sifat tersebut? Kenapa?
  3. Apakah Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk? Kenapa?

Jawaban terhadap pertanyan-pertanyaan ini adalah:

  1. Ya, Sifat-Sifat Allah adalah sesuatu yang hakiki. Karena hukum asal dalam penggunaan lafazh itu ialah memaknainya secara hakiki yang bisa langsung dipahami dan dapat dilihat dari lafazh tersebut.
  2. Tidak boleh melakukan takyif terhadap Sifat Allah, karena kita tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah demikian pula kita tidak bisa mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya. Hal itu disebabkan perbincangan masalah Sifat serupa dengan perbincangan masalah Dzat.
  3. Sifat-Sifat Allah Ta’ala tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,“Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Makhluk adalah dzat yang penuh dengan kekurangan bagaimana mungkin bisa serupa dengan Rabb yang Maha sempurna?

Beberapa Faidah Yang Bisa Dipetik

Faidah Pertama:

Takyif adalah menyebutkan kaifiyah Sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan bentuk tertentu yang namanya serupa. Contohnya jika anda mengatakan, “Aku punya buku yang sifatnya demikian dan demikian.” Kalau perkataan ini anda teruskan dengan ungkapan, “(Bukuku) seperti bukumu”, maka inilah yang disebut dengan tamtsilTamtsil (terhadap Sifat Allah -pent) itu maksudnya menetapkan Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk. Contohnya pendapat Mumatstsilah (kaum yang menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-pent) yang mengatakan, “Tangan Allah seperti tanganku.”

Dengan demikian tamtsil adalah tindakan mengait-ngaitkan Sifat Allah dengan sifat makhluk. Adapuntakkyif tidak diiringi dengan sikap mengait-ngaitkan (menyerupakan-pent). Oleh karena itu membayangkan/berkhayal tentang bentuk/cara dari Sifat-Sifat Allah termasuk tindakan takyif.

Faidah Kedua:

Munculnya takyif akibat pertanyaan ‘Bagaimana?’ Kaum ahlul ahwaa’/pengekor hawa nafsu sering mempertanyakan (tentang kaifiyah Sifat Allah -pent) dengan ungkapan semacam ini. Apabila salah seorang ahlul bid’ah mempertanyakan, “Bagaimana kaifiyah Sifat ini dan itu?” Maka hendaklah anda memberikan salah satu jawaban diantara beberapa jawaban berikut:

  1. Dengan jawaban seperti yang disampaikan oleh Imam Malik dan gurunya Rabi’ah. Suatu saat mereka ditanya tentang kaifiyah istiwa’ (cara Allah bersemayam-pent). Beliau menjawab:“Kaifiyahnya tidak bisa dijangkau oleh akal, sedangkan makna istiwa’ bukanlah sesuatu yang asing, mengimaninya adalah kewajiban adapun mempertanyakan (kaifiyahnya) termasuk bid’ah.”
  2. Dengan balik bertanya kepadanya mengenai bagaimana (kaifiyah) Dzat Allah Ta’ala. Apabila dia mempertanyakan misalnya, “Bagaimanakah Wajah Allah?, bagaimana Turun-Nya?, bagaimana Tertawa-Nya?, dst.” Maka tanyakanlah kepadanya, “Bagaimanakah Dzat Allah?” atau“Bagaimanakah wujud-Nya?” Kalau dia mengatakan, “Aku tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah”, maka katakanlah kepadanya, “Begitu pula saya tidak mengetahui kaifiyah Sifat-Sifat-Nya, akan tetapi saya menetapkan Sifat-Sifat tersebut dipunyai Allah sesuai dengan keagungan-Nya yang Maha Tinggi.” Ketahuilah bahwa jawaban ini dibangun di atas kaidah ‘Pembicaraan tentang Sifat serupa dengan pembicaraan tentang Dzat’.
  3. Atau dengan jawaban, “Sesungguhnya Allah telah memberitakan kepada kita Sifat ini dan itu, dan Dia juga memberitahu kita bahwa Sifat-Sifat itu adalah milik-Nya. Sedangkan Dia tidak memberitahu kita tentang kaifiyah Sifat-Sifat tersebut. Kaum salaf/generasi Sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- pun tidak pernah mempertanyakan hal ini, maka sudah sepantasnya kita juga diam (tidak mempersoalkan kaifiyahnya-pent) sebagaimana mereka.”

Faidah Ketiga:

Terdapat perbedaan antara takyif dan kaif/kaifiyah. Anda tidak boleh mengatakan, “Saya menetapkan Sifat Allah tanpa kaifiyah” karena Sifat-Sifat Allah Ta’ala mempunyai kaifiyah walaupun bagaimananya itu tidak kita ketahui. Maka tetapkanlah Sifat-Sifat Allah dan tiadakanlah pengetahuan tentang bagaimana kaifiyah-nya sebab tidak ada seorangpun yang mengetahui kaifiyah Sifat Allah selain Allah Ta’ala. Dengan demikian jelaslah perbedaan antara ‘peniadaan kaifiyah‘ dengan ‘peniadaan ilmu tentangkaifiyah‘. Peniadaan yang pertama (yaitu menolak kaifiyah-pent) tergolong tindakan ta’thil/penolakan Sifat, cermatilah !!!

Faidah Keempat:

Ketahuilah -semoga Allah menganugerahkan ilmu kepadaku dan kepadamu- sebenarnya ungkapan ‘menolak tamtsil‘ itu lebih utama untuk dipakai daripada ungkapan ‘menolak tasybih‘. Hal ini didukung beberapa alasan:

  1. Kata tamtsil/permisalan itulah yang ditolak oleh nash Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Tiada sesuatu pun yang serupa/semisal dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11). Sedangkan kata tasybihbukan (istilah) yang dinafikan oleh nash tersebut.
  2. Meniadakan tasybih secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya ta’thil/penolakan Sifat. Karena tidak ada dua dzat kecuali pasti mempunyai qadrun musytarak/kadar minimal keseragaman yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki kesamaan pada kadar tersebut, paling tidak kesamaan pada sisi makna asalnya.
  3. Ahlul bid’ah semacam Jahmiyah dan Mu’aththilah terkadang menggunakan istilah Musyabbihah(pelaku tasybih) untuk menjuluki orang-orang yang menetapkan Sifat Allah; seperti sifat Ilmu,Qudrah dst. Oleh karena itulah sebaiknya kita menghindari kesalahpahaman dengan cara memakai istilah ‘tamtsil’ sebagai pengganti istilah ‘tasybih’.

Baca Bagian keempat klik disini

Sumber:
muslim.or.id
Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (2)

بِسْـــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

1. Seluruh Asmaa’ Allah pasti husna.

Asmaa’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ism’ yang berarti nama dari dzat yang memiliki nama dan sifat. Nama-Nama Allah adalah nama-nama yang paling mulia, yang Allah menamai Diri-Nya dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Husna adalah bentuk mu’annats (lafazh berjenis wanita) dari kata ‘ahsan’ (paling bagus) bukan bentukmu’annats dari kata ‘hasan’. Sepadan dengan ‘kubro’ (bentuk mu’annats dari ‘akbar’) dan ‘mutsla’(bentuk mu’annats dari ‘amtsal’). Nama-Nama Allah adalah husna artinya mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan. Allah Ta’ala berfirman, “Hanya milik Allah Asmaa’ul Husna/Nama-Nama yang paling indah…” (QS. Al A’raaf: 180). Hal itu dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terdapat sedikitpun kekurangan padanya dari sisi manapun, baik dari sisiihtimal (kemungkinan asal makna lafazh) atau dari sisi taqdir (penetapan makna pelengkap yang muncul dari hasil terkaan dalam pikiran pendengar).

Semua Nama Allah menunjukkan sanjungan dan pujian bukan sekedar label/merek. Akan tetapi Nama Allah berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung sifat. Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mereka berdo’a kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya.

Diantara keindahan yang ditunjukkan oleh Asmaa’ Allah adalah setiap Nama dari Nama-Nama-Nya mengandung sifat yang mencakup seluruh maknanya yang muncul dari nama tersebut. Contohnya adalah Nama Allah Al ‘Aliim (yang Maha Mengetahui) sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta’ala,“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui/’aliim lagi Maha Bijaksana/hakiim.” (QS. Al Insaan: 30). Maka dari ayat ini diketahui bahwa Al ‘Aliim merupakan salah satu Nama Allah Ta’ala, yang mengandung makna ilmu yang sempurna; ilmu yang meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci, ilmu yang tidak diawali dengan kebodohan, ilmu yang tidak ditimpa kelupaan. Sehingga tidak ada makhluk sekecil apapun di bumi maupun di langit yang tidak diketahui-Nya.

Faidah:

Dengan memahami kaidah ini kita bisa mengetahui letak kekeliruan Imam Ibnu Hazm dan orang-orang berpemahaman zhahiriyah/tekstualis yang sejalan dengan beliau ketika mereka menetapkan Ad Dahr(artinya ‘masa’) sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala. Sebab Ad Dahr adalah ism jamid/kata beku (bukan musytaq/pecahan) yang tidak mengandung sifat sama sekali. Ad Dahr hanya sebuah nama yang tidak ada keindahan sama sekali di dalamnya. Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuyang terdapat di dalam Ash Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) yang memberitakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku karena dia mencaci masa (Ad Dahr). Padahal Aku adalah Ad Dahr; semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Hadits ini tidaklah menunjukkan penetapan Ad Dahr sebagai salah satu Nama Allah Ta’ala, ini didukung dengan alasan kuat yang bisa diketahui dari dua sisi argumentasi:

1. Firman Allah Ta’ala yang menyebutkan, “Padahal Aku adalah Ad Dahr” telah dijelaskan maksudnya oleh firman-Nya, “Semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa semua urusan ditangan-Nya, Dia-lah yang mengatur silih bergantinya waktu siang dan malam. Sedangkan pergantian siang dan malam itulah yang disebut dengan Ad Dahr/masa. Karena kalau tidak dipahami demikian pastilah perkataan kaum Dahriyyiin dibenarkan oleh Allah, mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain Ad Dahr/masa.” (QS. Al Jaatsiyah: 24). Akan tetapi ternyata Allah mendustakan perkataan mereka. Allah berfirman, “Mereka tidaklah memiliki ilmu tentang apa yang mereka ucapkan, hanyasanya mereka berprasangka (yang tidak ada buktinya-pent).”

2. Firman Allah Ta’ala, “Aku-lah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam.” Di dalamnya terkandung penetapan objek yang dibolak-balikkan (muqallab-dengan fathah pada huruf lam) dan penetapan subjek yang membolak-balikkan (muqallib-dengan kasrah pada huruf lam). Mustahil kalau objek yang dibolak-balikkan (muqallab) itu juga sekaligus subjek yang membolak-balikkan (muqallib). Padahal siang dan malam adalah makna dari Ad Dahr sebagaimana disebutkan dalam surat Al Jaatsiyah di atas (ketika Allah mendustakan perkataan kaum Dahriyyin-pent).

2. Asmaa’ Allah tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu.

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau dari jalur Ibnu Mas’ud. Di dalam hadits tersebut Nabi berdo’a, “Hamba memohon kepada-Mu dengan perantara seluruh Nama yang Engkau namai Diri-mu dengannya, Nama yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, Nama yang Engkau ajarkan kepada salah satu diantara makhluk-Mu dan juga Nama yang Engkau sembunyikan pengetahuannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.” Adapun Nama yang disembunyikan ilmunya oleh Allah di sisi-Nya maka tidak ada seorangpun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula Nama yang diajarkan-Nya kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi golongan yang lain tidak mengetahuinya.

Inilah pemahaman yang dipegang oleh jumhur/mayoritas ulama’ bahwa Nama Allah tidak dibatasi jumlah bilangan tertentu, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Baari. Sebagian ulama’ diantaranya Imam Ibnu Hazm telah menyelisihi pemahaman mereka. Beliau berpendapat adanya pembatasan jumlah Nama Allah beralasan dengan hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam Ash Shahihain. Di dalam hadits tersebut Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama -seratus kurang satu- yang apabila seseorang menjaganya niscaya dia masuk Surga.”

Ibnu Hazm -semoga Allah mengampuni kesalahan beliau- beralasan, “Seandainya Allah memiliki Nama selain 99 Nama sebagaimana dinyatakan dalam hadits ini maka perkataan Nabi ’seratus kurang satu’menjadi perkataan yang tidak ada gunanya…” Sedangkan Jumhur ulama’ berpendapat tidak adanya pembatasan jumlah Nama Allah. Mereka memahami pembatasan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah itu terkait erat dengan janji balasan yang akan diperoleh orang yang menjaganya Nama-Nama tersebut, sehingga kalimat “apabila seseorang menjaganya” menjadi penyempurna yang erat kaitannya dengan kalimat sebelumnya.

Imam Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan, Hadits ini bukanlah dalil pembatasan jumlah Nama Allah Ta’ala, hadits ini juga tidak menunjukkan bahwa Allah tidak memiliki Nama selain Nama yang jumlahnya 99. Sesungguhnya maksud dari hadits adalah barangsiapa menjaga 99 Nama ini niscaya dia masuk Surga. Ini adalah kabar yang memberitakan bahwa orang yang menjaganya (melakukan ihsho’) Nama-Nama itu akan mendapat balasan masuk surga, sehingga hadits tersebut bukan memberitakan pembatasan jumlah Nama.

Al ‘Allamah Al Utsaimin memberikan sebuah ungkapan untuk menggambarkan maksud hadits ini dengan kalimat yang hampir mirip. Beliau memberikan contoh, jika anda mengatakan: “Saya punya uang 100 dirham yang saya persiapkan untuk shadaqah.” Dari kalimat ini, tidak menutup kemungkinan kalau anda masih mempunyai uang selain jumlah itu.

Kata-kata “apabila seseorang menjaganya” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Nama-Nama itu sesuatu yang diketahui. Sedangkan kata-kata “Nama yang Engkau sembunyikan ilmunya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” merupakan dalil yang menunjukkan bahwa ada sebagian di antara Nama-Nama Allah yang tidak bisa kita ketahui. Dengan dasar dua ungkapan hadits ini disimpulkan bahwa jumlah Nama Allah lebih dari sembilan puluh sembilan.

Faidah:

Sabda Nabi shallaahu ‘alaihi wa sallam“apabila seseorang menjaganya” merupakan dalil bahwa Nama-Nama tersebut bisa diketahui. Dan jika anda telah mengerti bahwasanya tidak ada riwayat yang sah mengenai perincian Nama-Nama yang dimaksud (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar di dalamFathul Baari), lalu bagaimana mungkin seseorang yang ingin mendapatkan keutamaan tersebut dapat meraihnya sementara untuk menjaganya Nama-Nama Allah tidak terdapat perincian Nama-Nama yang dimaksud?

Para ulama’ memberikan 2 jawaban atas pertanyaan ini:

  1. Ketidaktahuan orang yang berdo’a terhadap rincian Nama-Nama Allah yang dimaksud dalam hadits akan mendorong dia untuk terus menerus berdo’a dengan menyertakan seluruh Nama Allah yang sah dalilnya dengan harapan bisa menepati Nama-Nama tertentu yang dikhususkan oleh hadits tersebut. Jawaban ini serupa dengan alasan mengapa Allah menyembunyikan waktu turunnya Lailatul Qadar.
  2. Alif lam ta’rif (pada kata al asmaa’) dalam firman Allah, “Dan hanya milik Allah Al Asmaa’ul Husna maka berdo’alah kalian dengan perantara menyebutkannya”, berfungsi untuk ‘ahd(menyebutkan makna yang sudah dipahami maksudnya oleh pendengar dan pembicara-pent). Dengan begitu pasti ada ma’huud-nya (objek yang dimaksud dalam konteks pembicaraan-pent) karena Allah memerintahkan kita untuk berdo’a dengan menyebutkan Nama-Nama itu. Sehingga Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Saya berpendapat Al Hawaalah (mencari Nama Allah yang ada dalam cakupan) Al Qur’an itulah yang lebih mendekati kebenaran.”

Al Hafizh Ibnu Hajar beserta beberapa ulama’ yang lain menerangkan maksud dari sabda Nabi tentangihsho’/ menjaga Nama Allah dengan beragam penjelasan. Maka silakan anda merujuk kepada kitabFathul Baari ketika Ibnu Hajar membahas syarah/keterangan hadits nomor 6410.

3. Nama-Nama Allah tidak boleh ditetapkan dengan akal akan tetapi harus dengan dalil syar’i.

Ini berarti Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi (penetapannya membutuhkan dalil syar’i-pent) yang penetapannya bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah. Dalam memahami maksud penetapan Nama ini terdapat perbedaan pendapat:

  1. Nama-Nama Allah adalah tauqifi, yang dibatasi dengan Nama-Nama yang tercantum dalam Al Kitab dan As Sunnah saja.
  2. Nama-Nama tersebut diambil dari dalil Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ sedangkan Qiyas tidak boleh digunakan.
  3. Penetapan Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi sedangkan penetapan Sifat-Nya tidak termasuk perkara tauqifi.
  4. Apabila akal menunjukkan suatu makna lafazh bisa ditetapkan ada pada Diri Allah maka Nama tersebut boleh disandarkan kepada Allah. Ini adalah pendapat kaum Mu’tazilah dan Karraamiyah.

Diantara beragam pendapat tersebut pendapat pertamalah yang paling kuat. Sedangkan akal sekedar berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu Nama disandarkan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu semua pasti dimintai pertangungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36)

Nama-Nama Allah hanya bisa diketahui melalui jalan mendengar (ayat atau hadits-pent) bukan dari hasil pemikiran atau olah rasio. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur ‘Aisyah Ibunda kaum mukminin radhiyallahu ta’ala ‘anha, Nabi bersabda, “Maha Suci Engkau (Ya Allah) hamba tidak mampu menyempurnakan ats tsanaa’/sanjungan terhadap-Mu sebagaimana sanjungan yang Engkau tujukan kepada Diri-Mu sendiri.” Sedangkan tasmiyah/penamaan (terhadap Allah-pent) termasuk dalam cakupan tsanaa’/sanjungan (sehingga jumlah Nama Allah tidak terhitung sebagaimana Nabi tidak dapat menyempurnakan sanjungan terhadap Allah-pent). Hal ini sebagaimana kita tidak diperbolehkan memberi nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan nama yang bukan berasal dari pemberian nama oleh keluarga beliau, maka terhadap Allah Rabbul ‘Izzah tentu tindakan menamai-Nya dengan nama yang Dia sendiri tidak menamakan Diri-Nya dengannya lebih tidak pantas untuk dilakukan.

Oleh karena itulah penetapan Nama Allah tidak boleh berdasarkan akal semata. Kalau kita melakukan penambahan nama selain Nama-Nama yang telah disebutkan-Nya bagi Diri-Nya sendiri maka kita telah terjerumus dalam pembicaraan mengenai Allah tanpa landasan ilmu. Dan apabila kita justru menyembunyikan Nama-Nama yang sudah disebutkan-Nya maka hal ini termasuk tindakan penentangan dan penolakan. Karena Allah berhak menamai Diri-Nya dengan nama apa saja yang disukai-Nya. Sehingga tindakan menambah-nambahi atau menyembunyikan Nama Allah tergolong tindakan yang sangat jelek.

Faidah:

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan di dalam kitabnya Badaai’ul Fawaa’id: “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah dalam permasalahan Asmaa’ dan Sifat adalah perkara tauqifi. Adapun penyandaran dalam bentuk berita tentang Allah bukan perkara tauqifi, contohnya memberitakan Allah sebagai Asy Syai’ (Sesuatu), Allah Maujud (ada), Qadiim (terdahulu), dan lain sebagainya. Kaidah inilah yang dikenal oleh ahli ilmu dengan ungkapan, “Cakupan penetapan berita lebih luas daripada penetapan Nama.” Jika anda menetapkan Nama dari semua Sifat Allah yang tercantum di dalam Al Kitab maupun As Sunnah sebagai pemberitaan tentang Nama-Nya seperti Al Jaa’i (yang datang), Al Aakhidz (yang menyiksa), Al Mumsik (yang menahan), Al Muriid (yang berkehendak), An Naazil (yang turun)… maka Allah Ta’ala tidak boleh dinamai dengan nama-nama tersebut tetapi kita diperbolehkan memberitakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut.”

4. Setiap Nama Allah pasti menunjukkan keberadaan Dzat Allah, Sifat yang terkandung dalam Nama tersebut, serta atsar/pengaruh yang timbul dari Nama tersebut apabila ia termasuk kata yang butuh objek/muta’addi.

Syaikh Salman menjelaskan di dalam Al Kawaasyif Al Jaaliyah:

Dalam mengimani Asmaa’ dan Sifat Allah harus terpenuhi 3 rukun:

  1. Beriman dengan Nama tersebut.
  2. Beriman dengan makna/sifat yang terkandung di dalamnya.
  3. Beriman dengan atsar yang timbul dari Nama tersebut.

Syaikh Al Utsaimin -semoga Allah Ta’ala merahmati beliau- (memberikan ungkapan yang sedikit berbeda untuk rukun yang ketiga-pent) di dalam kitabnya Al Qawaa’idul Mutsla beliau menggunakan ungkapan “Menetapkan hukum dan konsekuensi Nama-Nama Allah” sebagai pengganti ungkapan“atsar yang timbul”. Akan tetapi perbedaan ini tidak perlu dipermasalahkan karena maksud dari penetapan hukum (yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin -pent) sama artinya dengan menyandarkan Sifat kepada sasaran-sasarannya dimana tampaknya objek/sasaran itu merupakan konsekuensi logis dari penetapan Sifat. Seperti menyandarkan ilmu terhadap objek yang diilmui -dimana dengan sebab Sifat ilmu- segala sesuatu tersebut bisa diketahui (oleh Allah-pent). Rukun ketiga ini berlaku apabila Nama itu menunjukkan kepada sifat yang butuh objek/muta’addi.

Sedangkan apabila Nama tersebut tidak menunjukkan sifat yang muta’addi maka kewajiban kita adalah mengimani Nama itu yang sekaligus menunjukkan keberadaan Dzat Ilahiyah serta mengimani makna (sifat) yang terkandung di dalamnya. Pada penjelasan di depan telah dipaparkan bahwa Nama Allah bukan sekedar label/merek akan tetapi ia merupakan Nama yang paling indah. Dan salah satu bentuk keindahan tersebut ialah bahwasanya Nama Allah itu menjadi Nama sekaligus Sifat.

Contoh dari penjelasan ini:

  1. Nama Allah yang menunjukkan sifat muta’addi/butuh objek:Seperti Al Qayyuum, Ar Rahiim, Al Kariim, At Tawwaab, Al Qadiir dan Al ‘AliimAr Rahiim (Yang Maha Penyayang) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Rahmah/kasih sayang sebagai salah satu sifat yang dimiliki oleh Allah Ta’ala. Selain itu kita juga menetapkan bahwasanya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, dan inilah yang disebut dengan atsar.
  2. Nama Allah yang menunjukkan sifat yang tidak muta’addi: Seperti Al Awwal, Al Aakhir, Azh Zhaahir, Ar Rahmaan, Al ‘Aali, Al Hayyu dan Al ‘Azhim. Al ‘Aali (Yang Maha Tinggi) kita tetapkan sebagai Nama Allah ‘Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Al ‘Uluww/Tinggi sebagai sifat bagi-Nya.

Baca Bagian ketiga klik disini

Sumber:
muslim.or.id
Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad